12.1.16

Obrolan Pagi





Tiba-tiba saja kau bertanya padaku, "Sejak kapan kau mencintaiku?"

Aku hanya membutuhkan tiga menit untuk memberitahumu, barangkali tiga puluh menit jika kau menginginkan penjelasan, sekaligus memberi ruang padaku untuk bernostalgia. Tapi kita sama-sama tidak menyadari, ada selang tiga tahun bagi kita untuk sama-sama menyadari, bahwa kita ditakdirkan saling melengkapi, bahwa ternyata, selain ada kata "aku" dan "kau", kita membutuhkan "kita" untuk mengikatnya bersama.

Aku memutar mata, memamerkan senyum misterius untuk memancing rasa penasaranmu. Sejak kapan aku mencintaimu? Benarkah kau ingin tahu?

"Pertama...," aku memberi jeda dengan mencari-cari kedua bola matamu dan menatapnya tajam. Oh, pengakuan ini sejujurnya tidak akan pernah bisa kulafalkan sebelumnya. Tapi, bukankah kau juga harus tahu, sejak kapan aku mulai mengubah frasa "teman" menjadi naik level ke sesuatu yang membutuhkan pengorbanan lebih dari sekadar menjadikanmu sebagai teman? "Saat aku pernah mengeluh padamu ketika aku sedang sakit. Kau tahu apa komentarmu waktu itu? Sudah saatnya kamu butuh suami."

"Oh," reaksimu, namun dengan jelas aku melihatmu mengalihkan pandangan padaku seperti sedang berpikir. "Setahun yang lalu?" tanyamu mengonfirmasi.

"Sepertinya begitu. Dan kurasa, kamu cuma bercanda waktu itu, kan?" Aku membalikkan tanya sambil tertawa. "Aku tahu kamu bagaimana."

Kamu ikut tertawa bersamaku.

"Kedua?"

"Kedua, saat kau menghilang tanpa jejak dan sama sekali tidak meninggalkan pesan. Dan aku adalah orang pertama yang kau hubungi kembali. Mungkin bagimu itu hanya sesuatu, tapi bagiku adalah segalanya." Ya Tuhan, jantungku mendentum saat pengakuan barusan itu kusampaikan.

"Kau memarahiku saat itu--"

"--karena kau tidak tahu betapa khawatirnya aku."

Kau menghela napas panjang, sambil mencuri pandang dengan tersenyum yang langsung kutangkap pandangan itu lalu menguncinya.

"Maaf."

"Kau sudah mengucapkannya waktu itu. Dan kurasa, memang tidak ada yang harus dimaafkan."

"Dan yang ketiga?"

"Sekarang..., dan untuk selamanya."

Kau terdiam, dan kembali memasang senyum yang lebih tulus dari sebelumnya, atau bahkan lebih tulus ketimbang senyum manapun yang pernah kau pamerkan kepadaku. 

Aku ikut tersenyum bersamamu. Meskipun, aku tahu 'selamanya' bukanlah kata yang dengan jujur mampu aku pertanggungjawabkan setelah ini. Aku tahu, akan ada masanya ketika aku merasa lelah untuk mencintaimu, bahkan ketika aku berusaha dengan sekuat tenagaku. Akan ada saat ketika musim semi yang paling indah berganti dengan musim dingin yang paling mencekam. Bunga-bunga yang pernah bersemi itu tertutup salju dan tertimbun badai dalam suhu terendah sepanjang yang aku bisa tahan. Tapi, aku akan setia menunggu musim menghangat, masa di mana kata cinta akan menjadi atmosfer kembali hingga aku mampu menghirupnya bersamamu. Tapi kata 'sekarang' yang baru saja kuucapkan, adalah sebuah kejujuran yang mampu kuungkapkan, sejujur matahari yang tengah menyinari pagi kita, menyusup malu-malu melalui celah jendela.