20.4.14

Tunggu Aku

Sebentar lagi keretanya akan tiba di Jakarta. Dulu kau pernah berkata bahwa usia, jarak, dan waktu hanyalah bilangan angka. Sepenuh hati aku percaya. Kini, aku sedang melambungkan asa, mempersempit jarak yang menautkan kita. Apakah sudah terlambat? Kuharap saat ini aku mampu mengeja kata ‘tidak’ sejelas mengucap namamu dalam doa.

Katamu, tempat ini akan menjadi pelabuhan bagi semua mimpi-mimpi yang pernah kutorehkan. Pun juga kota ini akan menjadi pondasi bagi bongkahan batu bata yang akan kita susun menjadi istana impian. Mimpi itu, masih sama besarnya dengan tekad yang kucurahkan hingga mampu berlari sejauh ini, melabuhkan kapal di kotamu.

“Kau akan datang menjemputku,” ujarku lirih.

Dia tidak akan datang.

“Aku—aku tahu itu.”

Jemariku melemah, menjatuhkan sebentuk undangan bertinta emas yang menuliskan namamu, di sana.



 ------

 #FiksiLaguKu @KampusFiksi 123 kata. Inspirasi dari lagu "Tunggu Aku di Jakarta" Sheila on 7.


18.4.14

Seberkas Cahaya Kehidupan


Cinta tak pernah salah. Tapi ini apa?

Sebuah pertanyaan yang belum mampu kukorelasikan jawabannya. Aku tidak tahu, tidak pernah tahu menahu. Aku hanya serpihan debu dalam galaksi yang maha luas. Aku, hanyalah atom tak kasatmata dalam skenario besar alam semesta. Aku hanya setitik kehidupan yang mungkin tidak diperhitungkan. Tapi dalam hidupku, akulah pusat galaksi. Bumi berputar dan aku menjadi porosnya. Aku tokoh utama dalam kehidupanku sendiri meskipun dalam waktu dan ruang yang sama, aku menjadi pemeran pembantu dalam kehidupan orang lain. Pemeran figuran, yang sekali muncul kemudian terlupa dalam hidupnya. Hanya menjadi kilasan dalam hidup seorang yang telah meninggalkan seberkas noda dalam episode panjang takdirku sendiri yang kemudian menemui jalan buntu. Bagaikan terowongan gelap, dengan ujung berkabut tebal yang akhirnya buntu. Terasing. Hingga menyisakan misteri apakah kehidupan masih akan bergulir dalam kehidupanku detik ini, detik berikutnya, dan berikutnya lagi.


Aku kini berada di sebuah bilik kecil dua kali tiga dengan penerangan maksimal. Hidupku dipertaruhkan oleh bantuan tiga orang—tepatnya dua yang berpakaian putih-putih, karena yang satu hanya bisa meringis memandangiku dengan kasihan tanpa bisa melakukan apa-apa—yang berbagi udara denganku saat ini. Mungkin jam telah menunjukkan waktu dini hari, aku tidak tahu persisnya jam berapa saat ini dan berapa lama aku terbaring di atas ranjang ini. Jangankan untuk mengamati waktu, bahkan aku tidak tahu apakah diri ini masih cukup memiliki waktu barang sejam lagi untuk menuntaskan misi suci ini.

Aku menghela napas lagi, sesuai perintah. Bukan hanya karena sesuatu yang harus segera dikeluarkan, namun lebih kepada mendengus tentang sebuah pemikiran tentang ‘misi suci’. Diriku ini cukup hina untuk bisa katakanlah melakukan misi suci, tugas mulia, atau apapun yang dinisbahkan orang pada apa yang sedang kulakukan saat ini. Aku seonggok daging yang hina, pelanggar norma agama dan susila. Masih pantaskah dikatakan mengawal sebuah misi yang berhubungan dengan eksistensi makhluk lain? Yang bahkan sama sekali tidak kuinginkan keberadaannya bersemayam di tubuh ringkih ini.

“Ayo tarik napasnya lagi! Keluarkan!” ujar seseorang berseragam putih di sebelah kiri.

Entahlah, tanpa perintah itu pun pasti aku akan melakukannya. Mengeluarkan makhluk bernyawa yang telah membersamaiku selama sembilan bulan lamanya. Aku sudah mengejan, mendorong, berusaha sekuat tenaga hingga putus urat syarafku untuk melakukannya. Sudah habis rasanya tenaga, mereka pun telah lelah sepertinya untuk membantuku. Aku pun sudah lelah rasanya untuk berjuang.

Berjuang, sebuah kata yang manis untuk dipikirkan. Yah, Kamila Natasha sedang berjuang untuk melahirkan anak tanpa ayah ke dunia. Rasanya lucu, aneh. Mungkin kedua bidan itu menganggap bahwa aku hanyalah bagian dari daftar tugas dalam pekerjaannya. Mungkin sudah puluhan atau bahkan ratusan persalinan yang dibantunya. Tapi tetap saja, aku adalah tokoh utama dalam kehidupanku. Ini kisahku, ini persalinanku yang pertama. Dan ini akan menjadi tonggak sejarah kehidupanku yang pastinya seratus delapan puluh derajat akan berubah. Jika dan hanya jika misi ini berhasil aku selesaikan.

Tapi sepertinya aku sudah menyerah.

Tuhan,ambil nyawaku saja saat ini! Aku sudah menyerah!

Detik berikutnya kesadaranku hilang sempurna.

***

Gadis bersurai hitam legam sepunggung itu terlihat keluar dari sebuah rumah kost yang cukup mewah di kawasan kampus yang terkenal di kotanya. Waktu menunjukkan pukul sepuluh lewat lima belas menit, di mana seharusnya arus yang terjadi adalah penghuni kost yang seharian telah pergi, datang kembali untuk sekedar meletakkan mimpi pada porsinya. Menggantungkan harapan pada doa sebelum tidur dan mengistirahatkan raga sejenak dari roda kehidupan yang terus berputar. Namun yang dilakukan Kamila, ia justru baru memulai harinya di luar.

Seperti malam-malam sebelumnya, gadis bersorot mata tajam ini duduk di sebuah bangku taman yang kian malam semakin  ramai dengan aktivitasnya sendiri. Ia membeli sebungkus kacang rebus, kemudian menikmati dinginnya malam sendirian, bersandarkan bangku kayu dan mulai memandangi bintang.

Apa yang sedang dia cari? Petuah hidup? Petunjuk akan sebuah harta karun? Kedamaian yang abadi? Entahlah. Padahal hidupnya bisa dikatakan sempurna dalam kacamata orang awam. Lahir dari keluarga yang cukup berada, dikaruniai wajah yang cantik rupa, dan pergaluan yang luas. Namun entah mengapa, ada satu sisi dalam relung jiwanya yang kosong.

Ia menatap bulan yang sedang purnama. Tak lama kemudian pandangannya menyapu ke sekitar taman yang semakin malam semakin ramai ini. Biasanya ada bocah kecil itu yang menemaninya di tempat ini. Kurang lebih setengah jam. Kamila akan memintanya menyanyikan lagu apa saja yang bisa membuatnya terhibur, dan anak lelaki seumuran pelajar SMA kelas XI itu biasanya akan menurutinya dan membawakan lagu-lagu itu dengan sempurna. Begitulah setiap malam, kemudian rupiah bergulir dari sakunya ke tangan pengamen cilik itu. Namun malam ini, satu-satunya hiburannya tidak ada. Lengkap sudah semua penderitaannya hari ini.

Akhirnya ia hanya melamun, sembari menyibukkan diri dengan kacang rebus dalam genggamannya. Pikirannya mengelana jauh saat dirinya masih berumur enam tahun, menangis memandang bulan purnama—seperti yang dilakukannya saat ini—dan menunggu ayahnya pulang. 

“Kamila sayang,” ujar sang ayah ketika mendapati putri kecilnya yang tersedu karena tidak bisa tidur akibat menunggunya. “Kenapa belum tidur, Nak?”

Ayahnya mengelus surai hitamnya, menggendongnya ke dalam kamar dan mendongenginya seperti malam-malam sebelumnya.

“Kamu tahu cerita sang penyihir zaman dulu kala, Kamila?”
“Nggak tahu, ayah,” jawabnya, sembari mengusap pipinya yang masih berbekas air mata.

“Zaman dahulu kala di Britania, ada sekumpulan penyihir yang hidup tenang dan damai. Penyihir itu memiliki kekuatan untuk dapat menghilangkan kesedihan yang dialami oleh orang lain. Dalam satu usapan ke wajah siapa pun, maka sang penyihir baik bisa menghilangkan kesedihan orang lain. Seperti ini,” sang ayah kemudian mengusap wajah gadis kecilnya dengan satu usapan lembut miliknya. Sisa-sisa air mata lenyap begitu saja pada wajah Kamila enam tahun itu.

“Bagaimana kesedihannya bisa hilang, Yah?” 
“Ya karena kekuatan tadi.”
“Kekuatan sihir?”
“Sebenarnya bukan, Kamila. Penyihir itu hanya ada di dongeng saja. Kenapa kesedihannya bisa hilang? Karena ada kekuatan cinta di sana. Sama seperti yang tadi ayah lakukan padamu. Kamu sudah tidak sedih lagi kan?”

Gadis itu tersenyum. “Nggak Yah,” dan mengecup pipi kiri ayahnya. “Jadi, cerita ayah tadi itu, dongeng atau kisah nyata?”

Sang ayah tersenyum. “Cerita tadi hanya dongeng. Tapi, keberadaan ayah untuk menghapus kesedihanmu dengan sekali usapan wajah, adalah nyata, sayang, sampai kapan pun,” kata sang ayah, sembari mengecup ujung kepala sang gadis kecil. Kemudian begitu saja, Kamila kecil tertidur dalam pelukan sang ayah dengan tenangnya.

Air mata menetesi pipinya. Kini dia bukan lagi seorang anak enam tahun yang ditinggal pergi ayahnya sehingga tidak bisa tidur. Dia adalah manusia dewasa yang telah memahami dengan jelas baik buruk sebuah perbuatan. Dan untuk menyelesaikan kesedihan, tidak lagi cukup dengan sapuan tangan ke wajahnya kemudian semua masalah akan selesai. 

“Ayah,” ujarnya lirih, selirih jatuhnya cairan bening dari sudut matanya yang turun tanpa suara.  Ia rindu akan ayahnya, namun dalam kondisi seperti sekarang ini, sulit baginya untuk pulang. Semua kepercayaan telah dilanggar, semua norma telah dikangkanginya. Yang ada kini hanyalah penyesalan yang percuma. Sebuah test-pack bergaris merah dua dibuangnya dalam sekali lemparan, lenyap di kegelapan malam.

***

Tuhan, ambil nyawaku sekarang! Aku sudah tidak sanggup lagi! Aku tidak memiliki muka di depan kedua orang tuaku, di depan semua orang, di mata dunia yang melingkupiku!
Dan aku tidak sanggup bahkan hanya untuk memandangnya, Tuhan!

Aku tidak tahu bagaimana pastinya, kesadaranku hilang begitu saja. Menit berlalu bahkan hingga hitungan jam, mungkin selama itu pula aku tak sadarkan diri. Yang aku ingat hanyalah sebuah dialog, entah dialog itu sungguhan ada ataukah hanya imajinasi belaka.

“Aku tidak sanggup membesarkannya, Tuhan. Aku sungguh tidak punya muka, bahkan untuk menatapnya, membelai, atau bahkan merawatnya hingga tumbuh dewasa.” Lirih terucap dalam balutan air mata kepasrahan dan selimut tabir berwarna putih mengelilingiku.

Sunyi, tidak ada jawaban. Yang aku sadari adalah bahwa ada suara entah dari mana datangnya, mengabarkan, bahwa seorang yang meninggal dalam kondisi melahirkan, diganjar surga baginya. Yah, surga, yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan buah-buahan yang tidak pernah habis. Surga, benar-benar sebuah surga.

Aku menangis. Bahkan di akhir sisa kehidupanku, hanya sebuah permintaan sederhana untuk diambil nyawaku, begitu besar beban yang harus kulalui. Aku malu pada dunia, malu pada dosa yang telah kuperbuat. Aku malu pada nasib dan masa depan anak ini. Aku hanya ingin diakhiri sampai sini, namun entah mengapa ganjaran surga begitu membebaniku. Aku kembali berurai air mata hingga tak bisa bernapas. Mungkinkah aku mati dalam imajinasi? Atau hanya pada alam bawah sadar sajalah keinginanku akan dikabulkan?

“Apakah aku tidak layak mendapatkan surgaMu ya Tuhan?”

Sebuah pertanyaan terbersit dalam benakku. Aku tidak layak meminta surga, yang kuminta hanyalah berakhirnya nyawa.

***

‘Yah, mungkin aku bukan tidak layak untuk mendapatkannya. Tetapi belum. Belum saatnya. Karena cinta, tidak pernah salah.’

Dia belum meninggal. Ada satu nyawa yang tidak terselamatkan saat itu, namun bukan dia. Wajahnya putih tak berdosa, dibalut kain yang menyelimuti tubuh mungilnya. Laki-laki, tampan seperti ayahnya yang bahkan sejak pemberitahuan mengenai benih yang berhasil ditanamkannya dalam rahim sang ibunda, ia lenyap dalam hitungan waktu dengan segera. Seolah perempuan itu sendiri yang harus menanggung dosa seumur hidupnya. Seolah perempuan itu hanyalah pemeran figuran yang hanya muncul sesaat kemudian lenyap di balik panggung sandiwara. Namun bayi itulah yang terlebih dahulu merasakan indahnya surga.

Sebulan sudah sejak peristiwa itu terjadi. Tanah kuburan yang dulunya basah telah mengering. Bunga yang ditaburkannya juga sudah menghilang dibawa angin yang melintasi tanah pemakaman sang bayi. Yang telah pergi biarlah pergi, meninggalkan yang hidup untuk melanjutkan skenario besar dari Pemilik alam semesta padanya. 

Sampai detik ini, meskipun ia hanya dianggap debu yang menempel pada ujung sepatu, atau bahkan aib besar dalam lingkungan dan keluarga, Kamila tetaplah merasa dirinya adalah poros semesta. Ialah tokoh utama dalam skenario kehidupannya. Dan seperti yang dikatakan sebelumnya, bahwa hidup tetaplah harus berjalan sebagaimana semestinya.

Sore itu, sosoknya yang kembali ramping dengan wajah ranum dan ayu yang sama seperti sebelumnya, terlihat mengetuk sebuah pintu. Berharap kehidupan kembali membukakan pintu untuk kehadirannya.
“Sabar ya sayang, jangan menangis dulu,” ujarnya pada sebentuk wajah menyerupai boneka cantik yang sedari tadi digendongnya selama perjalanan jauh kembali. 

Sekali lagi ia mengetuk pintu, sembari menepuk-nepuk bagian bawah gendongannya. Semoga tangan itu masih ada, yang akan mengusap wajahnya dan membuat kesedihan lenyap seketika, meskipun untuk menghapus kesalahan tidak semudah gerakan tangan atau acungan tongkat sihir dalam cerita dongeng belaka.

“Ayah.”

Pada saatnya nanti, tangannya ini yang akan mengusap wajah gadis mungilnya. Menghilangkan kesedihan seperti yang pernah dilakukan ayahnya dulu padanya. Gadis kecil ini, tidak pernah salah. Bukan cinta yang salah, meskipun dia lahir dan bertahan hidup dari sebuah kesalahan. Ia masih mengetuk pintu, berharap mereka masih mau menerimanya. Juga bayi kembarnya yang masih diizinkan menatap dunia, Leonora Evelyn namanya, yang artinya adalah cahaya kehidupan.

Mari Kita Bicara




"Apa kau bercanda? Ini jelas tidak baik-baik saja!"

"Maaf. Ya sudah, kita bicarakan yang lain saja."

"Tidak bisa begitu! Aku butuh penjelasan!"

"Sudah, nanti saja kita bahas. Sekarang, aku ingin bertanya satu hal padamu. Hmm, banyak sih, tapi sepertinya satu dulu."

"Huh? Kamu mau bertanya apa?"

"Apakah sekarang kamu bahagia?"

"Kenapa kamu bertanya begitu?"

"Tidak. Hanya bertanya saja. Kamu tidak mau menjawab?"

"Hum, oke baiklah. Ya, aku bahagia. Rasanya semua yang kutargetkan hampir semua tercapai. Tinggal satu, oh tapi yang terakhir itu bisa kudapat sebentar lagi, sepertinya."

"Oh, begitu."

"Ya, kenapa?"

"Tidak apa-apa. Kalau begitu, kamu hidup untuk apa?"

"Maksudmu untuk apa?"

"Ya, tidak ada maksud apa-apa, hanya bertanya: untuk alasan apa kamu hidup selama ini? Mengejar kebahagiaan?"

"Bisa dibilang begitu, kan?"

"Jadi, jika yang satu tadi itu berhasil kamu dapatkan, tujuan hidupmu juga sudah tercapai?"

"Iya."

"Terus kalau sudah dapat, kamu mati dong."

"HAH?"

"Kan tujuan hidupnya sudah tercapai. Habis itu, mau apa lagi?"

"Ya aku juga tidak tahu mau apa lagi. Kalau sudah kaya, mapan, berkecukupan, ya sudah kan? Tinggal cari istri. Tidak susah kok, banyak yang mau, hahaha."

"Huuu. Kalau sudah mati, kamu mau ke mana?"

"Ke surga."

"Semudah itu?"

"Dan kenapa harus berpikir serumit itu?"

"Kamu... Yakin masuk surga?"

"Hahahaha. Kamu ini sudah dua lima, tapi pertanyaanmu seperti anak dua belas saja yang sedang mengerjakan PR Agama."

"Entahlah, hanya berpikir saja. Dan bagaimana jika kita buat saja dialog ini semudah itu? Seperti pertanyaan seorang bocah dua belas tahun yang bertanya soal tugas Agama?"

"Kamu mempersulit dirimu sendiri."

"Aku hanya ingin mengetahui pemikiranmu."

"Huh, baiklah. Aku umat beragama, jika ke arah situ pembicaraan ini yang ingin kamu ketahui. Aku percaya Tuhan, meskipun aku tidak tahu apakah dalam konteks ini, percaya yang kamu maksud sama dengan percaya yang ada dalam pemikiranku."

"Maksudmu, percayamu itu berbeda dari membenarkan dengan hati, diucapkan dengan lisan, dan dilakukan dengan perbuatan?"

"Ah, itu kan hanya retoris."

"Ehehe, kupikir malah justru percayamu itu yang retoris. Jadi misalnya kamu mencintai seorang gadis, kamu hanya membenarkan, kemudian mengucapkannya saja tanpa ada tindakan? Ah, gadis itu pasti sudah kabur menunggu kepastian darimu yang tidak kunjung datang."

"Hahaha."

"Berarti benar. Jadi.."

"Eits tunggu. Tidak bisa disimpulkan semudah itu."

"Bisa saja. Andre, aku mengenalmu sudah lama, lebih dari hitungan lima tahun kita berteman, kan? Jadi tanpa pembenaran darimu pun, aku sudah mengetahuinya, kawan."

"Oh, terserahmu lah."

"Iya, jadi kamu melakukan pembelaan pun sepertinya tidak mempan."

"Kalau begitu mengapa kamu mempertanyakan hal-hal yang menurutmu sudah kamu ketahui?"

"Hanya... Semacam ingin mendapatkan penyangkalan. Oke, jangan dipotong lagi, aku belum selesai berbicara. Jadi, jika kamu mempercayai Tuhan, apa hanya dengan pembenaran dalam hati saja dan pengucapan secara lisan, menurutmu itu sudah dibilang 'cukup' menjadi orang yang percaya Tuhan?"

"Jadi, apakah jika aku beribadah harus laporan padamu dulu setiap waktu?"

"Hahaha, sudah ah jangan[i] sewot,[/i] aku hanya bertanya. Kalau memang kamu seperti apa yang baru saja kamu katakan, tentang beribadah dan berbuat baik itu sudah kamu laksanakan, aku hanya bisa mengucap syukur. Kemudian beroda semoga kita bisa bertemu dan berteman lagi di surga, boleh berharap seperti itu kan?"

"Kamu minta doa saja sana ke Tuhanmu—"

"Sudah."

"—eh?"

"Ya. Aku sudah berdoa seperti itu. Semoga Tuhanku, Tuhanmu, Tuhan semesta alam raya mengabulkan doaku."

"Kamu ini kenapa, Ariana?"

"Hehe, tidak apa-apa."

"Oke, kalau begitu jelaskan, tentang pembicaraan awal kita yang tadi kaupotong jadi malah membicarakan soal bahagia, surga, Tuhan, dan hal-hal remeh lainnya itu."

"Ya Tuhan! Oke, persepsi kita soal itu rupanya [i]memang[/i] tidak sejalan. Kamu menganggap itu sebagai hal yang hanya bisa dengan mudah diucapkan, tapi aku menjadikan itu sebagai penerang jalan. [i]Way of life.[/i] Aku dan segala hal tentang kekolotanku soal sembahyang lima waktu, dan lain sebagainya. Kamu menganggap itu hal remeh sementara aku menjadikan itu sebagai tumpuan."

"Jangan mulai lagi deh, Ariana. Jelaskan, mengapa kamu menutupi hal penting soal kepindahanmu ke Bandar Lampung padaku, sekarang!"

"Aku... Aku akan menikah, bulan depan."

"Oh. Astaga!"

"Iya."

"Bagaimana bisa? Ba-bagaimana kamu tidak cerita padaku, Ariana?"

"Ini... Ini aku sudah cerita."

"Tapi bagaimana bisa?!"

"Bagaimana bisa apanya? Ada seorang yang baik memintaku pada kedua orang tuaku, lalu aku mengetahui kebaikannya, dan bersedia menerima kekurangannya. Aku berusaha yakin kalau dia mampu menjadi nahkoda yang baik bagi kehidupanku mendatang dan... Aku akan berusaha untuk mencintainya. Aku yakin pasti bisa."

"Yakin bagaimana? Apanya?!"

"Aku memiliki persepsi keyakinan yang berbeda denganmu, ingat kan? Jadi aku yakin pasti bisa."

"Kenapa... Kenapa bisa?"

"Bisa saja. Karena, aku sedang berusaha untuk menjadikan Tuhan sebagai tujuan dan menjalani keyakinanku sebaik-baiknya. Karena, aku sedang berusaha untuk menjadi orang baik, itu saja."

"..."

"Maaf kalau ternyata kita memang benar-benar berbeda. Bisakah tetap berteman, selamanya?"

14.4.14

Magnolia


Tidak bermaksud untuk memamerkan dada bidang dan goresan luka di sekujurnya, namun aku membuka baju dan membiarkannya terbelai oleh sengatan matahari yang sedang terik. Tidak lama, karena beberapa saat setelahnya, aku menghempaskan diriku ke dalam sungai yang berair jernih. Kutenggelamkan sekujur tubuhku, diam beberapa saat lamanya tak bernapas. Membiarkan semua luka, keringat, dan darah menjadi satu dengan air tawar ini, menghapus semua jerih payah yang sudah kukobarkan semalam. Aku terdiam membenamkan seluruh anggota tubuhku, juga surai cokelat panjang yang kuikat ke belakang.

Darah.

Kemudian aku tersadar akan sesuatu, yang membuatku segera memunculkan diri ke permukaan, membuka mata ke satu titik di pinggir sungai sana, melihat seberkas cahaya keperakan yang terpantul dari teriknya siang di dekat tempat kudaku kutambatkan. Senyum asimetris kububuhkan ketika menyadari pedang itu masih tergeletak di sana, di atas pakaian yang juga berlumuran darah yang sedari tadi malam kukenakan. Spontan aku mengayuhkan kaki berenang menuju ke sana.

Percikan darahnya belum mengering. Kutenggelamkan lagi diriku dengan pedang perak itu, membiarkan air sungai yang jernih menyapu bersih sisa aktivitas semalam. Secepat air menghilangkan bekas noda, secepat itu seringai menghilang dari wajahku. Wajah yang terpahat tanpa senyum dan air muka kebahagiaan. Aku kembali mematung dan berekspresi datar, meskipun kilat kemerahan mungkin tak akan semudah itu hilang dari sorot mataku, yang sebenarnya berpendar sewarna soga yang cokelat terang.

Magnolia. Apa kau senang di sana? Apa kau pikir aku pun senang di sini?!

Kalimat tanya itu belum menemukan jawaban.

***

TARR!!

Dua bilah pedang bertemu di udara.

“Tidak pernah kusangaka, seorang perempuan sepertimu pandai bermain pedang,” ujarku datar, sedikit dongkol karena seranganku begitu saja ditangkis oleh gadis muda itu.

“Kau meremehkan kaumku, Tuan Prajurit!” jawabnya dengan seringai mengejek. Kembali dikerahkannya ayunan pedang miliknya dan menyerangku.

“Tidak semudah itu, Nona.” Senyum dingin terpatri di wajahku kala serangannya berhasil kutangkis lagi. “Yah, memang, harus kuakui aku begitu meremehkanmu. Lupa bahwa ayahmu seorang panglima perang yang mungkin saja mengajari gadis yang terlihat lemah sepertimu. Dan ternyata benar, tidak salah kecurigaanku selama ini kala melewati kediaman ini malam hari dan mendengar tebasan pedang yang membelah udara.”

Aku mengarahkan pedangku dan menghalau senjata miliknya begitu saja, hingga terpental ke tanah. Senyum kemenangan kupersembahkan pada gadis muda itu.

“Kau kalah,” ucapku, ditambah seringai mengejek untuknya.

Dan aku bersiap untuk pulang, melewati tembok tinggi yang menaungi kediamannya, menyelinap tengah malam hanya demi memuaskan rasa penasaran dan kecurigaan akan gadis muda itu yang terlihat seperti putri bangsawan lainnya yang lemah lembut, namun menyimpan kemampuan bertarung dan bermain pedang yang tidak bisa diremehkan. Namun langkahku dihentikan oleh sebilah pedang yang tadi berhasil kujatuhkan, dan kini berpindah tempat menjadi tepat di leher sebelah kananku.

“Kau tidak bisa keluar begitu saja dari tempat ini setelah apa yang kau lakukan saat ini, Tuan Penyusup!”

Sebuah ancaman. Aku tersenyum menang, seolah permainanku sejak tadi disambut dengan sungguh-sungguh dan mendapat tantangan sepadan. Sebuah goresan yang tidak dalam muncul, darah segarku mengalir. Aku anggap ini sebagai peringatan, bukan sebuah ancaman atau adegan pembunuhan. Ayahnya akan rugi besar jika mengetahui prajurit kesayangan sepertiku harus mati konyol di tangan putrinya sendiri. Aku tersenyum penuh kemenangan, kuputar tubuhku dan kukunci serangannya, membuat si perak miliknya harus merasakan terbanting ke tanah untuk kedua kalinya.

Kupeluk gadis itu dari belakang, seringaiku muncul kembali sebagai tanda penaklukan. Tidak, tentu saja aku tidak akan melukai sang putri. Hanya saja, seolah mendapatkan teman bermain yang sepadan, aku mengkamuflase senyum girang dengan ekspresi dingin yang terpetakan.

“Walau kau mahir bermain pedang, aku tetaplah bukan lawanmu yang sepadan,” bisikku. 

“Aku pulang.”

Kulangkahkan kaki dengan santai, darah yang mengucur dari leher kujilat dengan tangan. Manis, semanis tangan yang telah menorehkan. Mulai saat ini, aku menamainya Magnolia, bunga berwarna putih yang memikat wanginya.

***

“Aku tahu, orang mengenalmu sebagai sosok yang bengis dan kejam. Tapi kau bukanlah seorang pembunuh.”

“Menurutmu begitu?”

“Ya, tentu saja.”

“Tidakkah kau tahu kenapa aku seperti ini?”

“Seperti apa?”

“Seperti katamu tadi: bengis, dan kejam.”

“Itu penilaian orang, bukan penilaianku.”

“Dan aku memang seperti itu, Magnolia. Aku dihidupkan untuk dimatikan. Pilihannya, bertahan atau hilang dari peredaran.”

“Tidak… Berjanjilah padaku.”

“Aku tidak bisa.”

“Kau pasti bisa.”

“Dan bagaimana jika suatu hari kau yang harus kubunuh, Magnolia?”

Gadis itu terdiam. Jeda begitu lama di antara kami berdua, hanya helaan napas berat yang mendominasi indera pendengaran.

“Kau tidak akan melakukannya. A-aku mahir bermain pedang, kau lupa itu!”

“Kau lupa bahwa hanya aku saja yang tahu itu,” ujarku. “Dan aku tahu kelemahanmu.”

Dia kembali terdiam, aku pun terdiam. Sampai suara derap kuda terdengar olehnya, semakin lama semakin menjauh. Ya, aku telah pergi meninggalkannya, menjauh dari tembok tipis sebagai pemisah pembicaraan selama ini antara aku dengannya.

Dan itu adalah pembicaraan terakhir yang berhasil aku torehkan sebagai kenangan.

***

Napasku memburu, amarahku menyatu dengan aliran darah yang memompa jantungku dengan cepat. Secepat aku memacu kuda ini untuk berlari, jauh menembus hutan. Aku harus melakukan perhitungan.

Segala persiapan dan upaya yang telah kurencanakan, harus terkubur dengan amarah yang mendidih. Akhirnya aku tahu mengapa julukan ‘bengis’ dan ‘kejam’ tersemat di belakang namaku. Aku adalah seorang yang menggunakan pedang untuk membayar perhitungan. Bukankah nyawa harus dibalas dengan nyawa?

Kilat kemerahan menebas semua yang berhasil kulumpuhkan, sebanyak tebasan pedang yang bisa kulakukan. Kudaku memburu waktu, mengejar satu sosok bertopeng hitam yang luput begitu saja dalam pengejaran. Murkaku tidak bisa terbendung. Ia harus habis di tanganku. Nyawa seseorang yang telah berhasil dihilangkannya harus terbayar lunas dengan ujung pedangku.

TARR!!

Kembali sabetan pedang berdesing di udara saat aku mampu menyejajarinya, mengejar derap langkah kudanya menembus hutan perbatasan. Dia tidak akan kulepaskan. Kuhunus pedangku berkali-kali, amarah bergejolak dan berdenyut di sekujur pembuluh darahku. Dia harus mati di tanganku!

SLASH!!

Luka panjang kutorehkan pada lengannya, membuat sang lawan kehilangan hampir separuh konsentrasinya. Aku menyerangnya kembali dengan membabi buta. Kuatur kembali napasku yang tersengal-sengal dan bersiap mengincar satu titik lemah yang sedari tadi dicoba untuk dilindungi.

“Kau tidak akan bisa membunuhku! Hah. Hahahaha!”

Suara beratnya mencoba untuk mengintimidasiku. Sayangnya anda gagal, Tuan. Aku tidak akan terpengaruh begitu saja dari ucapannya yang telah menyiratkan kekalahan. Tidak akan kubuang tenagaku untuk meladeni perkataannya. Konsentrasiku hanya ada pada satu titik. Titik di mana, Magnolia pernah menghunuskan pedangnya ke arahku.

Kau bukan pendendam…

Satu suara memecah konsentrasiku.

Kau bukan pembunuh…

“Hentikan!”

“Kau tidak akan bisa membunuhku. Hahahaha. Dan bagaimana jika kuceritakan bagaimana gadismu meregangkan nyawa di titik penghabisannya? Dia mengucapkan namamu berkali-kali.” Kembali, suara lelaki bertopeng itu mengintimidasi.

“HENTIKAN OMONGANMU!” Aku berteriak membelah kesunyian malam yang menaungi hutan ini, berusaha membungkam omongan pembunuh itu dan suara-suara lain yang begitu terdengar jelas di telingaku, antara ilusi atau realita, aku tidak tahu. Suara lembut itu, milik Magnoliaku, yang telah terbujur kaku di tangan orang di depanku.

Aku menebaskan pedangku dengan membabi buta, kutorehkan luka pada tempat yang sama sehingga lengannya mengucurkan darah segar begitu banyaknya. Emosi mengalahkan logika dan kemampuanku berpikir, sehingga satu titik di leher maupun organ vital lainnya luput dari pemikiran.

Suara itu terus saja menggangguku. Rongrongan si pembunuh yang mendidihkan darahku, dan suara Magnolia yang mengatakan bahwa aku bukanlah pembunuh.

Sang algojo berkostum hitam telah lumpuh. Aku berlutut dalam genangan darah dan air mata yang kuciptakan sendiri. Aku kalah, kalah melawan nafsuku sendiri yang membiarkan emosi membunuh dan balas dendam menggerogotiku. Perintahnya jelas, seret pembunuh itu hidup-hidup dan biarkan mahkamah pengadilan yang menjatuhkan hukuman untuknya. Tapi yang aku lakukan, aku nyaris saja menghabisi nyawanya. Satu lagi ekspresi ketakutan dan kesedihan berhasil muncul dari pahatan wajah dingin milikku. Aku menunduk di depan sosok yang terbujur kaku. Dia belum meninggal. Dan suara itu muncul lagi dalam kepalaku.

Aku percaya, kau bukan pembunuh.


“Tapi dia yang membunuhmu…”

Aku tidak peduli, Tuan Penyusup. Bahkan jika pun akhirnya nyawaku harus berakhir di tanganmu, aku tidak peduli. Namun hanya satu yang aku khawatirkan. Bahwa akhirnya, aku percaya kalau kamu adalah seorang pembunuh.

“Sebentar lagi dia akan mati…”

Nyatanya, sampai detik ini kau bukanlah seorang pembunuh. Kau tetaplah Tuan Penyusup-ku. Dan aku adalah Magnolia-mu, yang tumbuh di padang yang penuh dengan bunga.

“Untuk apa kamu meneror isi kepalaku, Magnolia?”

Agar kau percaya, bahwa ada kehidupan setelah kematian. Aku menunggumu di sini, janganlah dendam dan amarahmu membutakan. Biarkan saja jika memang takdir memutuskanku untuk berakhir di tangan orang itu. Namun jangan kau kotori tangan prajuritmu dengan membunuh orang yang tak layak untuk kau habisi nyawanya.

Aku frustasi, rasanya habis napas ini kuembuskan dan kemudian kulepaskan. Aku kehilangan nyaris sebagian besar akal sehatku. Magnolia sudah tidak ada. Entah saat ini aku sedang berbicara dengan siapa.

“Kalau begitu, apa yang harus kulakukan?”

Kau tahu apa yang harus kau lakukan.


***

Aku membaringkan diri di rerumputan pinggir sungai. Lelah fisik dan emosi karena terkuras habis dan tidak bersisa lagi. Kulakukan apa yang harus aku laksanakan. Aku membawanya ke rumah tabib yang paling dekat untuk kujangkau. Entah, apakah napas orang itu masih tersambung atau tidak. Aku sungguh sangat lelah. Setidaknya, ya, setidaknya dia tahu berhadapan dengan siapa. Aku telah menunjukkan padanya betapa berkuasanya sebilah pedang di tanganku. Dalam kehampaan total, aku masih mampu mengeluarkan seringaiku yang mematikan.

Sekali lagi, satu pertanyaan kembali kuutarakan dalam hati.



Magnolia. Apa kau senang di sana? Apa kau pikir aku pun senang di sini?!

Kalimat tanya itu tidak akan pernah menemukan jawaban.



------
#karakterjahat @kampusfiksi

Magnolia adalah bunga yang tersebar di Asia Tenggara dan Asia Timur, menjadi lambang bagi Republik Demokratik Korea.

Source pict: Tokoh utama (visualisasi diambil dari serial Drama Korea Warrior Baek Dong Soo: 2011)