19.10.13

Learning

“Ah, child and youth, if you knew the bliss which resides in the taste of knowledge, and the evil and ugliness that lies in ignorance, how well you are advised to not complain of the pain and labor of learning.”   Christine de Pizan  
Source

15.10.13

Kerudung Jingga | Kejutan Sebelum Ramadhan

Pengantar: Ehm, cerpen ini ikut dibukukan dari 200 karya terpilih dari @nulisbuku





 ------------o0o-------------

Setiap orang lahir dengan banyak impian yang dihembuskan menjadi doa dalam helaan napas ibundanya ketika pertama kali ia menyapa dunia. Sebuah hela napas panjang seorang ibu yang memutus fase mengandungnya, mengantarkan ia menuju fase amanah baru yang akan dipikulnya sepanjang hayat sebagai seorang insan. Kiriman doa akan terlantun begitu saja ketika mendengar tangisan pertamanya. Namun beban beratnya kehidupan, menjadi bayang-bayang begitu tangisan selanjutnya terlantun menggema memenuhi ruangan tempat ia dilahirkan.

Aku lupa dengan tangisan pertamaku ketika lahir di dunia. Tapi entah mengapa, aku selalu teringat tangisan-tangisanku selanjutnya. Apakah itu karena aku terlahir tanpa impian, tanpa doa atau tanpa harapan dari orang-orang? Ataukah aku terlahir hanya menjadi beban bagi kehidupan yang semula sudah amat berat? Aku tidak tahu. Yang aku tahu, sekarang aku hanyalah seorang lelaki beranjak dewasa yang setahun lagi menginjak kepala dua namun masih terjebak pada seragam putih abu-abu.

Tak perlu kuhabiskan waktu menjelaskan mengapa berulang kali aku tidak naik kelas, atau seberapa bermasalahnya aku dengan orang yang ada di sekelilingku. Bagiku hidup bukan hanya selembaran nilai rapor yang harus ditandatangani orang tua setiap akhir semesternya. Bagiku, hidup jauh lebih rumit daripada itu. Dan kenyataan bahwa orang yang menyebabkan rumitnya hidup yang harus ku jalani ini adalah orang yang amat ku sayangi, itu semakin menambah rumit kehidupanku.

Lupakan sejenak tentang itu. Kini, pikiranku tiba-tiba beralih pada sebuah fokus kehidupan yang lain. Mentari Jingga memang mengguratkan keindahannya yang cukup menyihir walau hanya sekejap mata dan kemudian pergi. Aku tidak memiliki kuasa untuk menahannya, karena aku bukanlah siapa-siapa. Pemuja rahasia? Mungkin saja. Mungkin aku seorang yang menunggu semburatnya untuk mengantarkanku terlelap dan bermimpi. Karena di siang hari, aku tidak memiliki mimpi yang nyata. Karena di malam hari ketika tidur, itulah impianku yang sesungguhnya.

            Ah, aku tidak mampu mengontrol wajahku untuk tidak tersenyum ketika melihat wajahnya dari kejauhan.

***

Aku tidak tahu apa itu cinta. Tapi apabila kamu merasakan kebencian yang amat sangat dalam, namun dengan hanya melihat mata teduhnya saat ia kelelahan kamu mampu melupakan semua kebencianmu, apa itu dinamakan cinta? Kata orang, cinta butuh bukti tidak sekedar pernyataan. Ketika kamu tiba-tiba berpikir untuk melakukan sesuatu sebagai bukti cintamu, apakah kamu sedang merasakan jatuh cinta? Kalau memang seperti itu, maka aku akan membuktikan semua itu pada orang yang sangat ku cintai dan akan berusaha memaafkan semua kesalahannya. Kesalahan fatal sekalipun.
 
***

Pagi ini, aku melihat Mentari Jingga sedang sibuk dengan kardus-kardusnya, dan instruksi-instruksi yang keluar dari bibirnya. Betapa sibuknya sekelompok orang di depan gerbang sekolah ini. Hari ini sekolah diliburkan jelang Ramadhan, dan seperti agenda rutin tahunan sekolah ini, OSIS akan melaksanakan bakti sosial membagi sembako ke Panti Asuhan sebagai kado Ramadhan kepada yang kurang mampu. Dan jangan tanya mengapa hari ini aku ada di sekolah, karena aku juga sedang berencana memberikan kado untuk orang yang spesial.

            “Ran! Ini kardus gula yang belum di packing kamu bawa ke anak-anak di sekretariat untuk di packing sekarang!” Teriaknya pada seorang gadis berkacamata bernama Rani yang berdiri tidak jauh darinya.

            “Mamat, Mat! Sumbangan Bu Neni sudah diambil belum? Ambil sana gih ntar gak keburu di pack sama anak-anak!” Teriaknya lagi pada yang lain. Dan semakin terlihat betapa sibuknya dia memberikan instruksi pada yang lain. Ia sendiri, gadis belia berkerudung putih susu, sibuk pula mengangkat beberapa dus yang tertumpuk di depan gerbang sekolah. Sementara aku, si berandal yang terkenal suka bikin rusuh, mengamatinya sambil berpura-pura membaca buku, di sebuah bangku tidak jauh dari situ.

       “Tari… Tari…!” Seorang anak perempuan teman sekelasku yang ku tahu bernama Nita menghampirinya dengan tergesa-gesa. “Pihak Panti Asuhan sudah siapkan acara penyambutan nanti jam sebelas. Tapi mobil pick up yang kita sewa kemarin barusan konfirm nggak bisa ngantar. Aduh Gue bingung musti sewa kemana lagi. Pakai mobil anak-anak udah Gue hitung-hitung nggak cukup. Mana acaranya tiga jam lagi, di sekretariat masih banyak yang harus dikerjakan lagi” Sambung Nita dengan panik.

            Bisa kulihat kalau Mentari Jingga sang ketua panitia mulai panik dengan situasi yang tidak diduga ini. Menurutku sih ini masalah sepele saja, namun sepertinya karena kelelahan sejak tadi pagi, juga mungkin dari kemarin-kemarin, ia bingung juga. Aku menghentikan bacaanku dan segera datang menghampiri mereka. Sebuah kejutan sepertinya melihat reaksi kedua orang ini yang memandangku dari ujung kaki hingga ujung kepala seperti sedang memberikan sensor Sinar X padaku.

            “Ada yang bisa dibantu?” Ucapku datar sambil membalas tatapan aneh mereka berdua.

            Taka ada balasan.

            “Hmm oke sorry, tapi tadi gue gak sengaja dengar dari sana.” Lanjutku sembari menunjuk ke arah bangku dimana tadi aku tiduran sambil pura-pura baca buku. 

Tak ada balasan lagi.

“Gue bisa mengusahakan pick up jam sepuluh. Gue bisa nyetir. Asal harga sewanya cocok, gue juga bisa bantu angkat-angkat barang.”

            Mungkin mereka masih kaget dengan keberadaanku, dan tawaran bantuan itu. Seorang Adhan Pradana, siswa yang hampir setiap bulan diskros karena kenakalannya, yang dua kali tidak naik kelas, yang tidak pernah peduli dengan sekelilingnya tiba-tiba datang menawarkan bantuan. Setiap orang pasti punya masa kelam dalam hidupnya, dan anggap saja ini adalah titik balik dalam kehidupanku. Bukankah setiap orang harus berubah menuju kebaikan? Sepertinya kejadian semalam cukup membuatku sadar untuk berubah. Dan inilah momen pertama kebaikanku.

            Walau terperangah cukup lama, akhirnya mereka setuju. Transaksi disepakati, bahkan aku menawarkan harga separuh dari yang mereka sepakati dengan penyewa pick up sebelumnya. Tapi kemudian aku juga membuat kesepakatan untuk menambah lima puluh ribu rupiahs ebagai biaya tambahan untuk aku ikut bantu mengangkat-angkat barang. Mereka menyepakati, karena tentu saja dengan tambahan itu mereka cukup diuntungkan karena mendapatkan harga yang masih jauh lebih murah dari sebelumnya. Dan bagaimanapun, ini adalah penghasilan pertamaku dari hasil keringat sendiri. Akan ku gunakan untuk membeli kado untuk orang yang ku cinta.

***

“Makasih Dhan untuk hari ini.” Ucap Tari sembari ikut membersihkan barang-barang seusai acara.

“Makasih untuk apa? Gue kan sudah dibayar professional, hahaha.” Jawabku sembari tertawa renyah.

“Emmm, kalau begitu, Saya mau minta maaf, karena… karena…”

“Karena salah sangka sama Gue? Sudah biasa kok. Seharusnya Gue yang minta maaf ke orang-orang kali ya, karena sudah jadi orang jahat selama ini.”

“Eh, tapi tetap saja Saya salah. Apa bisa dimaafkan?” Pintanya tulus.

Aku terdiam sejenak. 

            “Begini saja, Gue mau minta bantuan sama Elo. Dan setelah selesai, Gue anggap kesalahan Lo, yang sebenarnya bukan kesalahan sih ya, itu dimaafkan.” Jawabku. 

Kemudian aku jelaskan permohonanku, dan dia mengangguk sembari tersenyum. Aku merasa bunga-bunga bermekaran sebelum musimnya.

***

            Langit menggurat jingga mengantarkan kepulangan Mentari Jingga ke rumahnya. Dan aku terpaku sendiri menatap bungkusan cantik berpita emas di jok depan pick up yang baru saja diduduki oleh Mentari Jingga. Kerudung pilihannya sungguh cantik, tidak salah aku memilih dia untuk menemaniku memilihkan kado spesial ini. Entahlah, dari sekian banyak gadis berkerudung di sekolahku, aku memilih dia untuk menemaniku membelikan kado ini. Namun untuk berharap lebih pada gadis sholeha sepertinya, aku perlu berkaca diri. Menerima maafnya hari ini pun rasanya tidak pantas, dan mengetahui dia akan bersedia memenuhi permintaanku hari ini, rasanya seperti mimpi.

            Kini aku dihadapkan kepada pilihan sulit berikutnya untuk menyerahkan kado ini kepada orang yang tepat. Aku tidak mempunyai keberanian. Bahkan hanya untuk meletakkannya begitu saja di dalam kamarnya tanpa berkomentar apa-apa, rasanya sulit. Tapi sekali lagi, cinta butuh pembuktian dan aku harus berani membuktikannya.

***

            Ini sahur pertama. Namun aku terbangun bukan karena mendengar aktivitas dapur, tapi oleh isak tangis dari kamar sebelah. Pasti Ibu baru datang. Mungkin ia baru menyadari ada bungkusan tergeletak di kamarnya. Aku ingin pura-pura terpejam namun aku tidak bisa. Lebih baik aku ke dapur saja menyiapkan makan sahur untukku. Bukankah ini sahur pertamaku setelah sekian lama? 

            Kemudian terjadi begitu saja, orang yang begitu ku benci namun amat sangat ku cintai tiba-tiba muncul dengan air mata berderai, mengambil panci dari tanganku. Aku duduk memandanginya mengambil alih pekerjaanku. Aku menatapnya lama. Ia masih cantik, terlebih dengan kerudung jingga yang kini dikenakannya. Ingin aku teriakkan ‘aku sayang ibunda’ tapi tertahan begitu saja di rongga dada.

            “Maafkan Ibu Nak. Akan sulit untuk mengakhirinya sekarang. Namun Ibu akan berusaha.” Ucapnya lirih. “Dan kejadian kemarin malam, Ibu janji tidak akan terulang kedua kalinya.”

            Sekelebat muncul kembali peristiwa itu. Seorang ibu paruh baya datang ke rumah, menanyakan dimana suaminya pada Ibu. Memaki-maki, mengucapkan kata-kata sumpah serapah hingga semua tetangga keluar. Menampar dan menarik rambut ibuku dan menampar pipinya. Aku yang mencoba melerai keduanya terkena pukulan di kepala. Namun pukulan di hatiku amat jauh lebih sakit kurasa. Ibu itu mungkin terluka atas apa yang –aku tidak tahu- mungkin telah dilakukan ibuku pada kehidupannya. Namun aku, yang sepanjang usiaku hingga kini dinafkahi dan dibesarkan oleh ibu tanpa pernah tahu siapa ayahku, amat sangat jauh lebih terluka karena tak memiliki daya, bahkan untuk membela ibuku sendiri.

Wanita yang kini memakai kerudung jingga itu, telah menghabiskan dua puluh tahun hidupnya sebagai seorang Wanita Tuna Susila.

            “Adhan sayang Ibu.”

14.10.13

Seperti Itulah

Aku mencintainya...
Aku melihatnya membaca buku itu...
Kemudian aku pun ikut membacanya...

Aku jatuh cinta pada buku itu...
Aku menyukai jalan ceritanya...
Aku mencintai penulisnya...

Aku mencintai buku-bukunya yang lain...
Aku mencintai tulisannya...

Sampai sekarang aku masih mencintai buku itu, penulisnya, dan buku yang lain yang ditulisnya...
Tapi aku tidak mencintai dia lagi...

Seperti itulah hubungan kami...