17.8.09

Profesi Pengamen dan Pengemis




Pernah memperhatikan pengamen yang sedang menyanyi atau melihat pengemis yang sering memohon bantuan? Saya suka mengamati mereka. Ketika suatu saat sedang makan siang di dekat kampus daerah Pramuka, sedang asyik makan saya senang mengamati gejala sosial seperti itu. Banyak pengemis dan pengamen yang tidak hanya satu berkeliaran sepangjang warung di daerah Pramuka.

Ceritanya begini, suatu saat lagi makan di salah satu warung makan. Berhubung jam makan siang dan warungnya cukup terkenal, jadilah ramai sekali saat itu. Sewaktu dapat tempat duduk dan baru memesan makanan, datang seorang ibu-ibu lumayan tua mencoba mengetuk hati kami dan menengadahkan tangan. Seorang temanku mengulurkan bantuan. Ketika makanan kami datang dan hampir selesai makan, kira-kira tidak sampai setengah jam, ibu itu kembali datang dan mengulurkan tangannya menghampiri meja kami. Mungkin karena pengaruh usia sehingga beliau lupa sudah meminta belas kasih sama kami. Tentu permohonan kedua itu tidak kami respon.

Setelah berlalu, iseng aku mengutarakan analisisku pada teman-teman satu meja. Dalam waktu setengah jam, si ibu mengelilingi warung sepanjang pramuka, anggaplah ada lima warung makan dan setiap warung sekali jalan dapat lima ribu, jadi dalam waktu setengah jam penghasilannya sebesar dua puluh lima ribu. Belum lagi dalam setengah jam kedepan kembali pada rute rumah makan yang sama, keesokan harinya pun kembali dengan rutinitas yang sama, berapa banyak penghasilannya. Dan temanku sedikit tercengang saja denagn analisisku. Aku lanjutkan beranalisa, jika memang sang ibu sedang butuh uang, bukankah dia hanya cukup melakukan profesi itu sehari-dua hari dan kemudian menjadikan pendapatannya itu sebagai modal untuk bekerja yang lain? Dan pada kenyataannya, setiap kali kami makan di warung yang berbeda, kami menemui ibu yang sama dan dengan kostum bahkan jilbab yang sama. Dan dengan mimik wajah yang sama pula.

Cerita selanjutnya berlangsung ketika aku dan teman-teman makan siang di warung yang berbeda. Ada dua orang pengamen, yang satu membawa gitar dan yang satu vokalisnya sambil membawa bekas gelas air mineral. Jata teman sih itu duet pengamen yang suaranya paling bagus se-Pramuka. Setelah merka menyanyi, ya bolehlah aku akui kalau suaranya memang bagus dan cukup menghibur. Dan kemudian, dengan rokok mengepul di tangan, sang vokalis mengedarkan gelas meinuman itu ke penjuru warung makan yang lumayan besar. Mulanya, aku berniat memberi, sekedar mengapresiasi dan menghargai hiburan yang kunikmati, tapi batal ketika aku membayangkan uangku dan uang dari orang-orang itu akan dihabiskan untuk membeli rokok yang akan berubah menjadi asap dalam waktu sekejap, juga karena melihat badan-badan tegap mereka yang masih muda yang aku yakin mampu mengeluarkan tenaga untuk bekerja lebih baik dibandingkan hanya menjadikan mengamen sebagai profesi.

Analisisku kembali bermain. Mungkin secara pengahasilan analisisnya kurang lebih sama denagn analisis pertama. Mencoba berpositif thinking, namun aku tidak menemukan celahnya. Jika memang mereka tidak mampu bekerja karena lapangan kerja yang tidak ada, bukankah bisa menggunakan metode yang sama seperti yang aku pikirkan untuk sang ibu pengemis ya? Sehari-dua hari mengamen dan penghasilannya dijadikan modal usaha dan bekerja layak. Dan tentu saja kemudian berhenti mengamen.

Saya sempat mengutarakan gagasan sama teman, bagaimana jika saya membuat penelitian tentang gejala sosial ini. Skenarionya, saya duduk di suatu warung makan yang cukup ramai dan terkenal, kemudian duduk disana selama satu hari penuh dan mencatat berapa pengemis dan pengamen yang berada disana dan berapa kali orang yang sama kembali pada warung yang saya teliti. Kemudian mencoba mengkalkulasi berapa pendapatan mereka satu hari. Sepertinya keren untuk bahan skripsi. Tapi sayangnya saya dan teman-teman itu mahasiswa sains semua, ngga ada yang mahasiswa jurusan sosial.

Berbicara mengenai profesi, sebenarnya tidak semua pekerjaan bisa dikatakn sebagai profesi. Ada beberapa kriteria yang menjadikan pekerjaan tersebut menjadi profesi, diantaranya adalah pekerjaannya berupa pengabdian kepada masyarakat (selebihnya ngga dicatat sewaktu dosen menerangkan). Tapi cukup tergelitik juga sih ketika begitu banyak orang yang mengandalkan pekerjaan itu sebagai mata pencaharian mereka. Artinya, mungkin mereka hanya ingin berada dalam zona nyaman dengan pekerjaan ini yang notabene mendapatkan uang lumayan dengan cara cukup mudah. Padahal, dalam Al Qur’an sendiri diajarkan bahwa

“Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” [Q.S. Ar Ra’d:11]

Bahkan dijelaskan pula dalam hadist bahwa “ Tangan yang di atas (pemberi) lebih baik daripada tangan yang di bawah (penerima).” [H.R. Bukhari].

Saya sebenarnya tidak melarang untuk bersedekah. Bahkan Allah SWT memberikan ganjaran yang besar bagi kita yang bersedekah.

Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa [Q.S. Al Baqarah:276]

Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keredhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar. [Q.S. An Nisaa':114]

Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang telah beriman: "Hendaklah mereka mendirikan shalat, menafkahkan sebahagian rezki yang Kami berikan kepada mereka secara sembunyi ataupun terang-terangan sebelum datang hari (kiamat) yang pada bari itu tidak ada jual beli dan persahabatan. [Q.S. Ibrahim:31]

Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. [Q.S. Al Baqarah:261]

Insya Allah ladang amal dan ladang sedekah sangat tebuka lebar. Kita dituntut lebih selektif untuk memilih mitra dalam kebaikan (maksudnya calon penerima sedekah kita) supaya kita dapat beribadah dan bersedekah yang membawa manfaat bagi diri kita sendiri dan bagi sekitar kita. Coretan ini hanya sebagai pemikiran dari diri saya pribadi untuk mencoba mendidik mereka dengan cara yang saya miliki. Hanya Ridho Allah SWT yang berusaha saya cari.

Wallahu a’lam bissawab.
Cmiiw
Samarinda, 120809







Ketika Berharap Berakhir Bahagia

Menulis cerita adalah salah satu hobbyku. Karena dengan menulis aku mampu mengekspresiakn dan mengimajinasikan segala jalur imajinasiku. Aku suka menulis cerita berupa karya sastra seperti puisi, cerpen, bahkan mungikin novel. Dengan menulis, aku mampu mengeluarkan beban yang bertengger di pundakku. Dengan menulis pula aku menyalurkan curahan hatiku.

Kalau menulis puisi, inspirasiku tak bertepi (ngutip slogan Annida). Terkadang apa yang ada di lintasan bisa mengalir saja ku tulis. Yang penting keindahan bahasa dan kesatuan makna. Aku terinspirasi dari gaya penulisan Chairil Anwar, yang berbeda dari zamannya dimana keterikatan oleh aturan gaya penulisan masih terasa. Tapi kalau diperhatikan, aku lebih suka puisi yang ber-rima sama di belakangnya, minimal satu bait sama.

Aku juga suka menulis cerpen. Dengan cerpen, ku butuh waktu dan konsentrasi cukup dan sedikit waktu yang lebih dibandingkan membuat puisi. Sebuah cerita, terkadang banyak sisi yang aku peroleh dari kehidupan sehari-hari. Imajinasi juga bisa datang dari segala penjuru sisi kehidupanku. Terkadang sesuatu yang kurang mendapatkan perhatian dari orang lain bahkan menjadi tokoh utama dalam khayalan ceritaku. Sembari meramu cerita fiksi, terkadang kuselipkan curahan hati. Aku bisa menumpahkan banyak curhat terselubung dalam cerpen, komposisinya ya tergantung suasana hati. Suatu saat kompisisi cerita nyatanya bisa melebihi 60 persen, terkadang hanya sedikit saja atau bisa tidak sama sekali.


Aku lebih menikmati menggunakan sudut pandang orang pertama dibandingkan orang ketiga. Soalnya lebih bebas curhat dengan gaya bahasa “aku”, seolah-olah aku berbicara tentang apa yang terjadi dalam diriku, padahal ngga semua sih. Menikmati alur dalam cerita sendiri itu mengasyikkan, terutama ketika mampu menyatu dalam sedih dan bahagianya sang tokoh utama. Berasa telah memberikan jiwa pada isi tulisan. Kalau sudah merasa menyatu begitu, aku tidak lagi memperdulikan perkataan orang yang mengejek tulisanku (tapi masih membuka telinga untuk mendengar pujian, kritikan, saran atau ejekan kok) ;)

Di akhir cerita, entah mengapa aku suka membuat ending sedikit menggantung atau berakhir sedih (sad ending). Karena aku memiliki pemikiran bahwa cerita pendek hanyalah potongan kecil dari gambaran fiksi kehidupan. Dimana sebuah potogan kecil cerita hidup, hanyalah sepenggal cerita. Dan terkadang cerita tidak selalu berakhir dengan indah. Dan because life always go on, maka cerita tersebut juga –dalam sepotong kisah itu, belum berakhir, always go on.

Namun terkadang, ketika akhir sebuah cerpen itu sedih, kebanyakan penonton kecewa ;) padahal cerita sedih itu banyak kita jumpai dalam kehidupan sekitar kita. Dan kehidupan nyata tidak selalu berkisah seperti cerita cinderella atau film-film bollywood. Dan terkadang, ketika cerita telah dibuat dan dirancang, akhirnya aku buat juga berbagai episode jadi cerita bersambung dan cerita yang berhappy ending. Kadang ngga tega juga kalau tokoh ceritanya menderita.

Ya, inilah sekelumit cerita dari balik dapur redaksi,… hehe,….


Kupu-kupu Merah [eps. 2 Kupu-Kupu Jingga]

bismillahirrahmanirrahim,.................



Aku memasuki sebuah ruko berlantai tiga. Dari luar, cat dinding berwarna orange membuat ruko ini terlihat segar, ditambah lampu-lampu hias yang menyemarakkan eksistensinya di tengah keramaian kawasan pertokoan. Di depan, terdapat plang lumayan besar bertuliskan “Ozzy, Rental Pengetikan & Warnet”. Disini tempat aku bekerja. Dan malam ini, aku diminta lembur mengerjakan ketikan skripsi orang yang besok pagi mau diambil.

“Assalamualaikum mba Sarah.” Sapaku kepada penjaga warnet yang mejanya berada di samping pintu. “Sudah makan belum? Nih aku bawakan nasi goreng.”

“Waalaikumsalam. Wah kebetulan dek, mbak belum makan nih. Thanks ya. Oya, motormu langsung dimasukkan garasi samping aja.” Jawabnya sumringah.

“Beres mba. Aku di atas atau di sini nih?”

“Dah sini aja. Mbak ngga kuat jaga warnet nih kalau lagi banyak kerjaan. Hehe ntar diajak chatting lupa sama ketikan.” Kata mba Sarah sembari berpindah posisi denganku. “Naik dulu ya.”

Mba Sarah mitra kerjaku. Biasanya sih kami kerja berempat sama bang Andri dan bang Riki. Berhubung malam ini kami yang lembur jadi bang Andri sama bang Riki ngga jaga. Di lantai dua tempat rental pengetikan dan di lantai satu warnet. Biasanya aku jaga di atas dan mba Sarah di bawah, tapi sesekali kami bertukar posisi juga biar ngga bosan.

Aku mulai menggerakkan jemariku mengetik skripsi yang panjangnya berlembar-lembar ketika aku mendengar suara yang cukup familiar bertanya padaku.

“Mba, ada yang kosong?”

Aku menoleh ke asal suara itu. Tiba-tiba saja aku terkejut. Dua orang gadis muda yang wajah dan suaranya tidak asing bagiku. Tentu saja aku terkejut dengan keberadaan mereka yang aku pikir tidak lazim pada jam-jam segini. Aku menoleh ke arah jam dinding, pukul 22.15.

Sepertinya bukan hanya aku yang terkejut, mereka juga. Terlihat jelas dari rona wajah keduanya.


“Maaf ya, lagi penuh. Mungkin sebentar lagi ada yang kosong.” Jawabku sembari melontarkan senyuman kearah keduanya.

Terlihat kekecewaan yang begitu tampak dari wajah keduanya.

“Masya Allah bagaimana ini?” Kata ukhti berjilbab merah tua pada orang di sebelahnya.

“Kalau boleh tahu, ada apa ya? Mungkin ana bisa bantu.” Kataku pada mereka.

“Ukhti Ratna, anti kerja disini?” Tanya yang berjilbab biru muda padaku.

“Iya, setiap hari disini, tapi kebetulan malam ini lagi lembur ada ketikan. Ada apa ukhti?” Jawabku pada mereka.

Kemudian salah satu dari mereka menjelaskan padaku sembari tak lepas menunjukkan kekhawatiran pada wajah mereka.

“Insya Allah ana bisa bantu, dan kalau ngga keberatan, boleh minta password email kalian berdua? Biar nanti ana yang kirimkan.” Jawabku pada mereka sembari tersenyum hangat. Berusaha tulus, mengingat kejadian beberapa minggu yang lalu di mushalla. Ya keduanya adalah aktivis mushalla yang kutemui dulu, ukhti Tias dan Silva.

Dan kemudian keduanya memelukku sembari berurai air mata. Pelan namun terdengar dengan jelas di telingaku sebuah permintaan maaf terlontar. Tulus. Entah ada hubungannya dengan kejadian dulu atau tidak. Apa aku mampu menolak permintaan tulus itu?

Sebelum aku menekuni kembali tugasku, aku mencoba menjalankan amanah dari kedua saudariku tersebut. aku diminta untuk mengirimkan file tugas yang menjadi nilai ujian bagi keduanya. Katanya sih paling lambat harus hari ini dikirimkan. Aku tidak berani berspekulasi mengapa mereka baru menyelesaikannya. Mungkin saja kesibukan mereka mempersiapkan penyambutan mahasiswa baru sehingga lupa dengan tugas kuliah. Alhamdulillah sudah terkirim dan kemudian aku diminta untuk mengeprint dan mengcopynya tiga rangkap dan menyerakhan pada mereka besok pagi. Senangnya aku bisa membantu mereka, semoga amal sholeh mereka menegakkan dakwah di kampus dapat pula kurasakan lagi suatu hari nanti, mengingat aku tidak mampu lagi merasakannya lagi.

Pukul 23.00 aku meneguk segelas kopi hangat mengusir rasa kantukku dan kembali dengan ketikanku yang masih berpuluh lembar banyaknya.


*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*


Pagi-pagi sekali aku pergi ke kampus, mengantarkan file tugas dari kedua sahabatku semalam. Setengah tujuh aku sudah stand by di mushalla, karena kami janjian bertemu disini. Sebenarnya aku masih sangat mengantuk sekali karena belum ada tidur sejak semalam. Setelah ini mungkin aku akan pulang dan tidur, tidak apalah absen sehari dari perkuliahan.

Malam ini aku juga berniat mencari mba Ratih. Entah aku akan mencarinya kemana. Karena aku tidak yakin apakah bisa bertemu dia di kostnya. Ataukah aku akan nekad mencarinya di tempat yang kata orang adalah lokasi dia bekerja? Bahkan akupun tidak tahu tempatnya dimana, lokasinya bagaimana, dan suasananya seperti apa. Aku takut untuk membayangkannya.

Bismillah, selepas isya aku mengendarai motorku menuju sebuah alamat. Suatu tempat yang lumayan familiar dikenal sebagai lokasi hitam di kotaku. Aku ragu, namun ku bulatkan tekadku. Aku harus menemui kakakku. Entah aku akan mampu membawanya pulang ataukah bagaimana nantinya, minimal aku sudah bisa mengembalikan uang biaya rumah sakit almarhumah ibu.

Rasa ragu kembali menyelimuti hatiku. Aku takut, apalagi denagn jilbabku yang lumayan besar ini dan kepergianku yang seorang diri. Sedari tadi kupacu motorku denagn perlahan, namun entah kekuatan dari mana yang membuatku semakin bertahan.

Akhirnya kuparkirkan motorku disini. Aku menangis tanpa suara di sebuah warung kopi di pinggir jalan. Aku sudah tidak sanggup melanjutkan perjalanan. Bayangan akan suasana yang kuciptakan sendiri membuatku takut itu benar-benar terjadi. Aku terlarut dalam suasana yang aku sendiri tidak tahu seperti apa. Bayangan yang terbentuk dari imajinasiku mengenai tempat itu, dan, dan, dan aku tidak mampu melanjutkan perjalananku sendiri. Padahal lokasi itu sudah dekat denganku kini.

“Mau kemana mbak? Mau pesan apa?”

Suara ramah dari ibu-ibu setenagh baya pemilik warung kopi mengagetkanku. Aku mengusap airmata dan mencoba tersenyum ramah padanya.

“Minta teh hangat bu” Jawabku.

Tidak lama muncul pria paruh baya duduk tidak jauh dariku. Wajahnya yang tidak bersahabat membuatku semakin takut. Terlebih tatapan matanya yang seperti lupa akan dosa. Bicaranya yang jelas aku dengar membuatku semakin terpeosok ke dalam permainan pikiranku sendiri. Terburu-buru aku meninggalkan warung kopi itu. Semakin menjauh dan menjauh dari tempat itu. Sembari menangis tiada henti aku pacu motorku dengan kencang. Kuucap istighfar berulang kali. Astaghfirullahhal’adzim.


*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*


Aku terkejut bukan main ketika hendak membuka kunci rumah namun terbuka. Ada sedikit harapan menyelimuti ragaku yang sudah demikian payah hari ini. Ada asa yang menghujani pikiranku. Ada satu harapan bahwa mbak Ratih kembali pulang. Aku berlari menyisiri rumah, namun tidak ada tanda keberadaannya. Sampai kemudian aku mendengar suara air dan teriakan seseorang dari kamar mandi.

“Tidaaaaaaak,………!!!!!”

Secepatnya aku menghampiri dan membuka kamar mandi rumah kami. Kulihat disana, sesosok wanita bertubuh pucat, pakaiannya basah setelah disiramnya dengan air. Aku memeluknya, kakakku yang dari hati nuraniku sungguh sangat aku sayangi.

Ku halangi ia memukul perutnya yang terlihat sedikit membesar. Ku dekap ia penuh iba, ku usap rambut panjangnya sembari ku coba pulihkan kesadarannya.

Terngiang oleh pesan-pesan terakhir dari almarhumah ibunda padaku,

“Jagain Mbakmu ya Na. Ibu sudah ngga bisa jagain dia.”

Aku ingin menangis ketika menyadari bahwa kakakku telah membawa calon anggota baru pada kami. Namun rasanya airmataku tidak tersisa. Entah kekuatan apa yang menuntunku untuk membantunya bangkit, sembari ku bisikkan sesuatu padanya.

“Jangan kembali ke tempat itu lagi ya mba. biakan Nana yang menjaga mba disini. Nanti kalau anak ini sudah lahir, Nana bantu mba carikan ayah terbaik buat dia.”

Kini kupu-kupu jingga itu telah kembali. Meskipun sebagian sayapnya telah rusak, namun aku menerimanya kembali. Aku akan mengobatinya hingga ia mampu terbang lagi. Tidak lagi sebagai kupu-kupu malam yang hitam, namun terbang tinggi layaknya kupu-kupu yang indah, kupu-kupu merah.


10.8.09

Persyaratan Training

Persyaratan Intermediate Training
Pelajar Islam Indonesia (PII)
Kabupaten Paser
Tanah Grogot, 23-30 Agustus 2009


1. Telah lulus Basic Training minimal 6 (enam) bulan dan membawa surat mandat dari PD setempat
2. Bersedia aktif pada kepengurusan PD atau PW minimal 2 (dua) tahun
3. Bersedia melanjutkan ke jenjang training selanjutnya
4. Membayar Sumbangan Wajib Organisasi (SWO) sebesar Rp. 50.000,00/daerah dan Sumbangan Wajib Pribadi (SWP) sebesar Rp. 10.000,00/orang
5. Membawa Al Qur’an terjemah, peralatan tulis, peralatan sholat, perlengkapan pribadi, obat pribadi, berpakaian rapi dan bersepatu
6. Memiliki hapalan Al Qur’an minimal 50 ayat
7. Membuat makalah minimal 5 (lima) halaman (belum termasuk daftar isi, daftar pustaka, cover, dan kata pengantar), di ketik pada kertas berukuran A4, spasi1.5, Times New Roman 12, margin 4,4,3,3 dengan tema (pilih salah satu):
a. Strategi pembasisan PII di kalangan pelajar
b. Menggagas konsep dakwah sekolah melalui PII
c. Peran pelajar dalam dinamika Politik
d. Jilbab, antara budaya dan kewajiban seorang muslimah
e. Jihad dan terorisme
f. Pengaruh media terhadap perkembangan dakwah pelajar
8. Membuat resensi buku minimal 3 (tiga) halaman (belum termasuk cover) di ketik pada kertas berukuran A4, spasi1.5, Times New Roman 12, margin 4,4,3,3 dengan judul (pilih salah satu):
a. Dari Gerakan ke Negara : Anis Matta
b. Gerakan Pelajar Islam di Bawah Bayang-bayang Negara : Djayadi Hanan
c. Islam dan Pluralisme: Jalaludin Rakhmat
d. Jihad Sepanjang Zaman : Al-Izz Bin Abdussalam; Ibnu Qayyim Al Jauziyyah
e. Laskar Pelangi : Andrea Hirata
f. Model Manusia Muslim Abad XXI : Anis Matta
g. My Potency : Endra K Prihadi
h. Orang Miskin Dilarang Sekolah : Eko Prasetyo
i. Psikologi Umum : Alex Sobur
j. Revolusi Jilbab
k. Yang Berguguran di Jalan Dakwah : Fathi Yakan
9. Membawa buku-buku ilmiah, pergerakan, kePIIan, sosial, sejarah, politik, komunikasi,psikologi, fiqih, manajemen, dll minimal 3 (tiga) buku/orang (diutamakan buku yang menjadi resensi)


NB: Untuk mendapatkan persyaratan advance training dan PID Kaltim, silahkan menghubungi sya_bilqis@yahoo.co.id